hariaman sunglob1234

    Warung Bebas TV Streaming

    Jumat, 11 November 2011

    Silsilah Haro Munte

    Silsilah Dan Asal Usul Haro Munthe Naimbaton adalah nama seorang ibu istri pertama Tuan Sorimangaraja. Disebut Naiambaton karena anaknya bernama Siambaton yang disebut juga sebagai Tuan Sorba Dijulu atau Suli Raja. Menurut cerita Ibu Naimbaton inilah yang berpesan kepada anaknya Siambaton agar keturunannya bersatu. Sisada lulu anak si sada lulu boru artinya tetap merasa satu keluarga dan tidak saling mengawinkan anak antar sesama mereka di kemudian hari. Tuan Sorba Dijulu (Siambaton) mempunyai empat orang anak; - Simbolon Tua - Tamba Tua - Saragi Tua - Munthe Tua Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah anak Tuan Sorba Dijulu, dimana ada yang mengatakan mempunyai 4 (empat) orang anak, dan juga ada yang mengatakan mempunyai 5 (lima) orang anak, dan anak yang ke-5 adalah bernama Nahampun Tua. Munte Tua yang merupakan anak ke-4, dari Naimbaton mempunyai 3 orang anak, yaitu; - Ompu Raja Panguruan - Ompu Jelak Maribur - Ompu Jalak Karo Ompu Jelak Maribur mempunyai 2 orang anak, yaitu; - Ompu Saha Hulubalang (Parsanti Ulu Balang) - Raja Isora Raja Isora mempunyai 1 (satu) orang anak yang bernama Datu Morani Aji. Kemudian Datu Morani Aji mempunyai 3 (tiga) orang anak, yaitu; - Ompu Pamarpar - Ompu Toga Raja - Ompu Tuan Nabue Ompu Pamarpar mempunyai 2 (dua) orang anak, yang bernama Ompu Sait Pagar, dan Ompu Tinumpahan. Pada kisahnya, Ompu Tinumpahan dari Negeri Tamba kemudian pergi ke Humbang tepatnya di Dolok Sanggul, untuk menjumpai saudaranya Ompu Saha Ulu Balang (Parsanti HuluBalang) yang saat itu masih menggunakan marga Siambaton. Menurut sejarah bahwa salah seorang keturunan dari Munte Tua ada yang bergelar Raja Parultop yang menjadi marga Haro Munte. (Siapakah Dia?? ikuti Sejarah Marga Haro Munthe selanjutnya....) Haro Munthe Tidak Sama Dengan Haro Raja Guk-Guk (Raja Parultop dikenal sebagai seorang dukun besar yang dulunya tinggal di Huta Sibabiat Negeri Tamba, yang mempunyai sebuah ULTOP (merupakan sejenis senjata zaman dulu yang terbuat dari bambu) yang mana ULTOP-nya berlilit kulit Lintah yang sampai saat ini masih disimpan dengan baik oleh keturunannya di Huta Sibabiat Negeri Tamba). Keturunan Raja Parultop di Negeri Tamba menurut sejarah memakai marga Haro Munthe. Setelah beberapa keturunan Haro Munthe berada di Negeri Tamba, suatu ketika datanglah marga Haro Raja Guk Guk ke Negeri Tamba yang bernama Ompu Djohana yang keturunannya sekarang ini adalah keturunan dari Ompu Tuan Lada. Dengan demikian tinggallah di Negeri Tamba 2 marga yang sama-sama memakai Haro yaitu Haro Munthe dan Haro Raja Guk Guk. Karena sama-sama memakai marga Haro, masyarakat kadang-kadang bingung mana yang Haro Munthe, dan mana yang Haro Raja Guk Guk. Kadang kala juga masyarakat menganggap mereka sama, akan tetapi kenyataannya Haro Munthe adalah keturunan dari Munte Tua, yaitu anak ke-4 dari Raja Naimbaton, sedangkan Haro Raja Guk Guk adalah perpecahan dari marga Raja Guk Guk yang parsadaannya adalah Si Raja Lontung. Untuk mengatasi keragu-raguan masyarakat terhadap siapa Haro Munthe, dan siapa Haro Raja Guk Guk terutama yang berada di Negeri Tamba, maka pada Tahun 1962 Haro Munthe yang berada di Negeri Tamba, maupun di perantauan mengadakan Pesta Partamiangan selama 3 hari berturut-turut yang juga dihadiri oleh abang/adiknya Marga Munthe yang berada diluar Negeri Tamba, seperti Munthe dari Dolok Sanggul, Sidi Kalang, Pollung, dan dari Huta Hauganjang. Dalam acara pesta tersebut, pada saat menari (manortor) yang diikuti Haro Munthe bersama abang adiknya sambil memegang ULTOP pusaka peninggalan Raja Parultop. Kemudian setelah pesta partamiangan selesai, maka jelaslah diketahui oleh masyarakat umum bahwa antara Haro Munthe dan Haro Raja Guk Guk yang ada di Negeri Tamba tidak ada hubungan silsilah marga sama sekali, dan Haro Munthe yang ada di Negeri Tamba, banyak mempunyai abang adik yang berada di luar Negeri Tamba terutama Munthe yang ada di Humbang (Dolok Sanggul). Bagi Masyarakat Batak yang ada diperantauan maupun yang tinggal di Bona Pasogit selalu bergabung ke persadaannya misalnya; marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Aritonang, Siregar, parsadaannya adalah Si Raja Lontung. Kemudian contoh lain seperti marga Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munte Tua, Nahampun Tua, persadaannya adalah Naimbaton dan begitu jua marga-marga lain yang semuanya ada persadaannya. Sebagai mana telah kita jelaskan sebelumnya Naimbaton adalah nama seorang Ibu yaitu nama isteri pertama Tuan Sorimangaraja nama itu melekat padanya adalah karena nama anaknya Siambaton, nama Naimbaton inilah yang menjadi nama untuk keturunan Siambaton atau Tuan Sorbadijulu lebih popular nama itu diakronimkan PARNA (Parsadaan Naimbaton). Namun Setelah kongres PARNA tahun 1946 di Sibolga, singkatan PARNA berubah menjadi Parsadaan Raja Naimbaton. Kalau melihat silsilah masyarakat Batak bahwa Raja Naimbaton adalah sundut ke-4 (empat), dan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) adalah sundut ke-6 (enam) dengan demikian perkawinan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) ke salah seorang boru dari marga Tamba Lamban Tonga-Tonga adalah bertentangan dengan apa yang dipesankan oleh Naimbaton sebagai mana telah dijelaskan diatas. Sekarang timbul pertanyaan; Bagaimana kedudukan keturunan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) Haro Munthe selama ini dalam wadah Persadaan Raja Naimabaton (PARNA)..?? Jelas bagi keturunan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) hal ini sering merupakan permasalahan dan tanda tanya apakah masuk PARNA atau tidak oleh karena sering timbul permasalahan sehingga ada beberapa oarang bermarga Haro Munthe mengaku dirinya Haro Raja Guk-Guk walaupun di Marga Raja Guk-Guk tidak jelas kedudukannya menurut silsilah. Untuk mengatasi permasalahan dari keragu-raguan tersebut diatas udah sering dilakukan musyawarah oleh para tua-tua adat yaitu di Bona Pasogit Negeri Tamba dan puncaknya adalah musyawarah pada Tanggal 15 September 1982 di Kota Medan, yang dihadiri oleh utusan dari Bona Pasogit Negeri Tamba mewakili Haro Munthe si Tolu Ama yaitu Ompu Jahipas Munthe, utusan dari kabupaten Labuhan Batu adalah Ompu Parsaoran Munthe, utusan dari kota Medan sekitarnya Amani Robinson Munthe, utusan dari Dolok Sanggul adalah Apu Munthe, utusan dari Tongging adalah guru Nathan Munthe, Letkol N. Munthe, dan St. M. Munthe, musyawarah tersebut juga dihadiri oleh Ketua Umum Pengurus Munthe/boru kota Medan sekitarnya, yaitu St. Maraden Munthe. Hasil musyawarah adalah; terhitung sejak hari Sabtu tanggal 10 September 1982 Haro Munthe yang ada di Bona Pasogit Negeri Tamba dengan Haro Munthe yang merantau dari Bona Pasogit diseluruh Indonesia/Dunia supaya hanya memakai marga MUNTHE. Hasil musyawarah tersebut diatas memang sangat berat untuk dilaksanakan terutama bagi mereka yang tinggal di Bona Pasogit, dan mengambil boru tulangnya, dan juga bagi mereka yang sudah dewasa yang mana dalam dokumen katakanlah seperti; akte kelahiran, ijazah, dan dokumen lainnya sudah memakai marga haro munthe, namun demikian kami menyarankan kepada seluruh marga haro munthe terutama generasi muda supaya melaksanakan hasil musyawarah tersebut diatas. Hubungannya Haro Munthe Dengan Tamba Sudah merupakan suatu kebiasaan bagi warga masyarakat batak, orang tua selalu menganjurkan kepada anaknya laki-laki (terutama yang sulung) untuk mengawini paribannya (mangalap boru ni tulangna), dulu kebiasaan ini sering terjadi seseorang kawin dengan paribannya/boru tulangnya. Dalam adat yang hidup pada keluarga batak bila seseorang anak pertama mau berencana kawin akan tetapi tidak kepada paribannya/boru tulangnya selalu diusahakan MANULANGI TULANGNYA, tujuannya adalah meminta doa restu agar si pemuda tadi jodoh dengan calon istrinya dan kalau sudah mengikat perkawinan supaya keluarga tersebut menjadi keluarga yang harmonis, karena ada kalanya si tulang selalu mengharap bahwa berenya akan menjadi menantunya apabila kebetulan ada boru dari tulang yang sepadan umurnya dengan berenya, dan apabila seorang pemuda yang berencana kawin tanpa pamit dengan tulangnya sedangkan boru tulangnya ada yang tepat yang sudah dewasa dan sepadan hal ini dapat berakibat renggangnya hubungan kekerabatan. Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa seorang anak laki-laki (pemuda) kalau mau kawin selalu mencari boru ni tulangnya setidak-tidaknya yang semarga dengan ibunya, kebiasaan ini pada zaman dulu sangatlah banyak kita jumpai tapi pada zaman sekarang ini kebiasaan tersebut sudah semakin ditinggalkan terutama mereka yang tinggal di perantauan/perkotaan. Dalam sejarah Haro Munthe sebagaimana telah diuraikan pada halaman terdahulu bahwa Ompu Djalak Maribur (Datu Parultop) adalah keturunan Munte Tua dengan demikian jelas marganya adalah Munthe. Akan tetapi karena sesuatu hal yang terjadi akibat perbuatan Datu Parultop terhadap anak boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga sehingga pada saat itu Datu Parultop yang bermarga Munthe itu direstui mengawini perempuan yang telah disembuhkan dari penyakitnya. Akan tetapi dibelakang marganya ditambah kata Haro akhirnya jadi Haro Munthe. Dengan kawinnnya Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) keturunan Munte Tua dengan boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga maka sejak itulah keturunan Ompu Djelak Maribur memanggil tulang kepada Tamba Lumban Tonga-Tonga dan anak keturunan Datu Parultop adalah bere Tamba Lumban Tonga-Tonga. Sesuai dengan kebiasaan yang hidup di masyarakat Batak sebagai mana telah diuraikan diatas tidaklah salah seorang laki-laki mengawini boru ni tulangnya malah inilah yang paling didambakan oleh para orang tua terutama zaman dulu. Jadi apabila ada keturunan dari Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) yang mengawini boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga adalah yang mengambil Paribannya atau Boru ni Tulangnya, dan hal ini sudah berlangsung secara turun temurun sejak beberapa ratus tahun yang lalu, terutama di Bona Pasogit (Negeri Tamba). Dengan majunya zaman terutama setelah merdeka banyak orang batak yang merantau keluar tanah kelahirannya dan sampai saat ini orang batak telah banyak di perantauan khususnya di kota-kota besar yang ada di Indonesia.